Kampung Kemasan: Bukti Sejarah Akulturasi Kebudayaan China, Arab, Eropa, dan Indonesia

(www.youtube.com // gotravelly)

Alkisah, pada tahun 1853 M, hiduplah seorang pelaut turunan Tionghoa yang bernama Bak Liong. Ia tinggal di pinggiran sungai kecil yang terletak di pesisir kota Gresik. Daerah tersebut konon disebut dengan Telogo Dendo, yang menghubungkan pemukiman penduduk hingga pantai Laut Jawa. Di tempat yang gersang itu, berdirilah sebuah rumah sederhana bernuansa China. Memiliki ketrampilan membuat emas, ia menjadikan hunian tersebut sebagai ladang penghasilan. Mulai dari perhiasan tubuh, dinding, patung, hingga arsitektur berbahan dasar emas semua dapat ia kerjakan. Karena banyak masyarakat yang tertarik, Bak Liong kemudian membuka rumahnya untuk dikunjungi, baik untuk sekedar melihat koleksi ataupun melakukan transaksi jual beli. Sejak saat itulah, daerah ini kemudian dijuluki sebagai Kampung Kemasan. 

(Sumber: Jejak Tapak)

Dua tahun kemudian 1855 M, H. Oemar bin Ahmad yang dikenal sebagai pedagang kulit mendirikan sebuah rumah di kawasan ini. Selain itu, ia juga memiliki hobi memelihara walet, sehingga kemudian didirikan penangkaran burung. Enam tahun kemudian, saat usaha yang dijalankan berhasil memperoleh banyak omset, Pak Oemar memutuskan untuk membangun dua rumah baru di kawasan itu. Tahun 1896, ketika kesehatan dan kekuatan Haji Oemar mulai menurun, ia pun menginginkan anak-anaknya meneruskan usaha yang telah ditekuni selama ini. Mereka adalah Asnar; Marhabu; Abdullah; Djaelan; Djaenoeddin; Moechsin; dan Abdoel Ghaffar, namun hanya lima diantaranya yang menyanggupi keinginan H. Oemar. Mereka bertekad untuk tidak hanya menjadikan usaha tersebut sebagai bisnis keluarga, namun juga dapat dirasakan manfaatnya oleh penduduk sekitar.

Sekitar tahun 1898-an, ketika usaha keluarga tersebut mulai berkembang pesat, mereka memutuskan untuk mendirikan Pabrik Penyamakan Kulit yang berlokasi di Desa Kebungson, Gresik. Sejak saat itu, perusahaan ini mulai menjalin hubungan kerjasama dengan beberapa pengrajin dari Surabaya, Lamongan, Sidoarjo, dan Mojokerto. Bahkan, ketika memasuki abad ke 20 atau tahun 1900-an, Pabrik Penyamakan Kulit berhasil memperkuat layar kesuksesan di luar Jawa Timur, meliputi Madura, Batavia, Yogyakarta, Semarang, hingga Lampung. Bisa dikatakan, bahwa bisnis keluarga ini telah berkontribusi menjadikan kota Gresik sebagai salah satu pusat perdagangan terbesar di Pulau Jawa. Bahkan, ketika kekejaman Belanda terhadap rakyat mulai dirasakan sangat signifikan, pengusaha menengah pribumi Gresik mampu bertahan menghadapi tekanan ini. Mereka dengan sengaja membuka lebar kesempatan kerja kepada masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan keluarga tanpa takut ancaman dari pemerintah kolonial.

(Sumber: Clara Soca Atisomya)

Persaingan dagang tersebut dapat dikatakan sangat sukses, karena mereka mampu menyeimbangi kekuatan syahbandar China, Arab, bahkan Eropa. Hingga memasuki abad ke-20, Gresik disebut sebagai salah satu daerah maritim terkuat di Indonesia dengan hubungan dagang yang terjalin penuh. Penghasilan yang berlimpah dari Pabrik Penyamakan Kulit dan penjualan air liur Burung Walet, menjadikan keluarga keturunan H. Oemar menjadi pebisnis terkaya di Kota Gresik. Mereka kemudian memutuskan untuk membangun rumah tambahan di kawasan Kampung Kemasan, namun dengan tetap bersikap rendah hati terhadap masyarakat sekitar. Arsitektur bangunan merepresentasikan berbagai kebudayaan dunia, seperti China, Arab, Eropa, dan Indonesia, terlihat baik dari bentuk, ruang, elemen, ornamen maupun makna simbolik yang berada di dalamnya. Keunikan yang tercermin dari rumah Kampung Kemasan adalah bentuk akulturasi berbagai kebudayaan dan dapat hidup saling berdampingan. Merupakan warisan bangsa yang harus dilestarikan di tengah era globalisasi ini, dimana terdapat banyak bangunan lain telah kehilangan identitas, serta sejarah yang terkandung karena gencarnya renovasi dan modernisasi.

Apabila melihat detail bangunan rumah Kampung Kemasan, maka akulturasi kebudayaan Eropa (Belanda) dan China sangat mendominasi. Arsitektur Indische Empire Style (Kolonial Hindia Belanda) atau Indis tergambar jelas pada kondisi fisik bangunan, meliputi bentuk luar, ruangan, konstruksi, elemen, dan ornamen. Berkembang sejak abad ke-19 dan dipopulerkan oleh Gubernur Jenderal Herman William Daendels, arsitektur Indus mulai diadaptasi masyarakat pribumi dalam berbagai bangunan non-rumah, seperti museum, perpustakaan, tempat ibadah, hingga gedung pemerintahan. Sementara kebudayaan Tiongkok atau China lebih terlihat dari perpaduan warna orange dan merah, serta makna simbolik pada beberapa objek. Apabila mengulik sedikit sejarah masuknya agama Hindu Buddha ke Indonesia, maka tidak terlepas dari peranan Fa Shien, seorang pengembara China yang sempat berlabuh di Nusantara dan akhirnya menjalin hubungan dengan warga setempat. Sebelumnya, Fa Shien pernah singgah di negeri India dan memperdalam ilmu agama disana, yang kemudian coba ia terapkan di Tanah Pribumi yang saat ini belum beragama, disamping kepercayaan animisme dan dinamisme. Sejak saat itulah, peradaban China dan India mulai diterima masyarakat, terlebih sangat mudah beradaptasi dengan kebudayaan asli Nusantara (tanpa disertai dominasi dan paksaan).

(Sumber: Disparbud Gresik)

Arsitektur Indis memiliki cirikhas yang sangat mudah dikenali, yaitu tata letak simetris dan kaku. Konstruksi dinding menggunakan batu bata tebal, dengan diameter 33 cm. Menggunakan langit-langit setinggi lebih dari 4 meter untuk menyikapi iklim tropis (agar sirkulasi udara dapat maksimal). Meterial ubin terbuat dari bahan dasar marmer, karena lebih dingin dan tahan lama, serta menambah kesan elegan. Sementara itu, hal yang sangat menonjol dari Arsitektur Indus adalah beranda/teras pada bagian depan dan belakang rumah, sebagai tempat menjaga kelembaban suhu tubuh (mencari udara segar) disaat musim kemarau tiba. Meskipun kelihatan seperti kebudayaan tunggal, Arsitektur Indus sebenarnya telah mendapat pengaruh akulturasi peradaban Yunani. Ditandai dengan barisan kolom penunjang atap yang menjulan tinggi ke atas, meliputi Greek dan Roman Doric, Ionic, Corinthian, Composite, dan Tuscan. Sementara bagian dalam rumah, Arsitektur Indus identik dengan keberadaan Central Room atau Ruang Utama yang sangat luas, tidak diberi pembatas, serta langsung menghubungan beranda depan hingga ujung belakang (melewati ruang makan dan dapur).

Karena lokasinya yang strategis dan berada di bagian tengah rumah, Central Room biasa digunakan untuk tempat pertemuan anggota keluarga. Kamar tidur, toilet, ruang baca, hingga gallery kuno sengaja didesain mengelilingi dan menghadap langsung ke arah Central Room. Sementara untuk menyimpan perabotan usang, Arsitektur Indus juga menyedikan gudang pada bagian luar belakanb rumah (terpisah dari bangunan utama). Konon, orang Eropa percaya bahwa benda masa lalu adalah bukti sejarah, agar tidak hilang maka harus disimpan dalam ruangan khusus. Pintu dan jendela (rangkap dua) berbahan dasar kayu jati untuk menambah kesan mahal, yang dipadukan dengan ornamen kaca es, patri, dan transparan. Selain untuk akses keluar masuk juga sirkulas udara, kedua benda ini juga melambangkan privasi pemilik rumah. Dalam sejarah negeri Belanda, mereka sangat menghargai rahasia setiap individu (keluarga), ketika pintu dan jendela rumah tertutup rapat, maka sang pemilik sedang berada di luar atau tidak ingin diganggu. Maka ketika keadaan ini terjadi, akan sangat tidak sopan apabila orang lain dengan sengaja mengetuk, memanggil, bahkan berteriak.

(Sumber: Weebly)

Sementara itu, arsitektur China terpampang nyata pada permainan (gradasi) warna rumah Kampung Kemasan dan beberapa dekorasi pendukung. Salah satunya adalah penggunaan sumbu axis, elemen penutup lantai, serta pola ornamen octagons and squares. Sedangkan untuk makna penggunaan warna terbagi sebagai berikut:

1. Warna kuning, melambangkan kayu, jagung, dan rumput, berarti bumi adalah milik semua makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Secara simbolis, bermakna kesetiaan, kesungguhan dan kesucian setiap manusia.

2. Warna emas, menandakan kekuatan, keningratan, kekuasan, keagungan, dan kemuliaan. Sehingga, seorang pemimpin adalah manifestasi seorang dewa yang wajib dihormati, biasanya terlihat pada bagian atap bangunan.

3. Warna merah digunakan untuk pewarnaan dinding rumah, dekorasi interior, dan pilar penyangga. Menurut kebudayaan China, merah adalah api, darah, atau matahari melambangkan kemakmuran, keberuntungan, kebajikan, kebenaran, serta kebahagiaan.

4. Warna hijau mencerminkan dinasti Ming, berhubungan dengan elemen air yang mematikan api. Kedua elemen tersebut dipercaya merupakan konsep utama dalam arsitektur China, meskipun tidak dapat bersatu tapi diusahakan untuk menciptakan keseimbangan. Warna hijau muncul pada dekorasi ruangan, hiasan balok, dan bracket.

Pengaruh kebudayaan Arab dapat disaksikan pada penggunaan motif crenellation/merlons (sering dipakai untuk dekorasi Masjid). Susunan dinding yang memperlihatkan batu bata merah (interior dan eksterior), biasanya dibentuk menyerupai piramida juga mengadopsi arsitektur Arab. Ketiga adalah stilasi ornamen flora/tumbuhan (daun, batang, bunga), merepresentasikan ukiran yang umum dijumpai di Negeri Petro Dollar. Dikarenakan, dalam ajaran Islam melarang umatnya untuk melukis atau membuat patung menyerupai benda berjiwa (manusia dan hewan).

(Sumber: Budaya Indonesia.org)

Di sisi lain, banyak ditemukan benda-benda berbahan dasar kayu jati, dengan motif ukiran khas daerah Jawa Tengah, identik melambangkan kebudayaan Indonesia. Selain itu juga terdapat pagar besi yang tersusun tinggi (privasi keluarga), halaman rumah yang sempit (kepadatan penduduk), hingga adanya punden berundak (mencegah banjir). Menurut kepercayaan pribumi, jati melambangkan kekuatan, kekayaan, dan kemegahan, sehingga apabila perabotan didominasi kayu jenis ini dipercaya lebih memperkokoh sebuah bangunan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Kampung Kemasan merupakan manifestasi akulturasi berbagai kebudayaan, meliputi China, Arab, Eropa, dan Indonesia. Meskipun memiliki banyak perbedaan, namun dapat hidup saling berdampingan, sehingga berpengaruh terhadap kebudayaan lokal.  Bak Liong dan keluarga Haji Oemar adalah tokoh penting dalam sejarah industri perdagangan Kota Gresik, dengan berhasil menjadikan daerah ini sebagai salah satu sumber pendapatan terkuat di Pulau Jawa (pada masa kolonial Hindia Belanda). Penulis berpendapat, kekayaan daerah merupakan sumber kebudayaan nasional yang harus dilestarikan bahkan dipromosikan kepada khalayak. Sebagai generasi muda, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita untuk terus menjaga serta mempertahankan keaslian di tengah maraknya globalisasi/modernisasi.

Comments

Popular posts from this blog

Malam Selawe: Tradisi Masyarakat Gresik Menjemput Berkah Lailatul Qadar

Dapur Rumahan: Nasi Krawu yang Merambah Dunia Internasional

Dapur Rumahan: Rindu Kelezatan Sego Roomo